- Yani Kurniawan
Resensi: Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi
Oleh Zen Hae
Sajak protes sosial menempuh cara yang negatif dalam mengekspresikan kecintaan kepada bangsa. Ia mengorek-ngorek yang-cacat untuk menemukan yang-sempurna di sebaliknya. Namun, justru dari cara negatif itu sebenarnya ia hendak menjangkau sesuatu yang luhur-suci, yang telah terkotori oleh kekuasan, nafsu angkara dan lain-lainnya. Ia menginginkan sesuatu yang asali, yang kepadanya kita menautkan harapan dan cita-cita kita: bangsa yang merdeka dan berdaulat, manusia yang bebas, dunia yang aman-damai—sebuah order.

Watak protes atau kritik pada karya sastra di Indonesia itu sendiri mungkin bisa dilacak hingga kepada Max Havelaar (1860) karya Multatuli—atau pada karya yang lebih tua lagi. Dalam persajakan Indonesia modern sajak protes bermula pada Rivai Apin dari Angkatan 45. Sajak-sajak protes Rivai Apin kemudian menjadi model untuk sajak-sajak sejenis yang dikembangkan oleh penyair-penyair Lekra di masa yang lebih kemudian. Namun, sajak-sajak protes juga diproduksi dari arah yang berlawanan yang pada periode peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru dikerjakan oleh Taufiq Ismail, Bur Rasuanto, Mansur Samin, Abdul Wahid Situmeang. Sajak-sajak seperti ini selalu berdiri berhadap-hadapan dengan situasi sosial-politik yang melahirkannya. Kapan waktu ada situasi yang mencederai kemanusiaan dan merangsang penyair untuk menuliskannya, jadilah sajak jenis ini.
Dalam Potret Pembangunan dalam Puisi Rendra meneruskan apa yang telah menjadi ciri khasnya selama ini, yakni, sajak sebagai “pamflet penyair”. Sajak bukan lagi dunia bacaan yang sunyi-kontemplatif, tetapi seni pertunjukan yang meriah dan penyair adalah aktor yang sanggup menyihir banyak penonton. Dengan kata-kata yang lugas dan gaya pembacaan yang teaterikal, Rendra mengajukan sajak-sajak protes, juga sajak-sajaknya secara keseluruhan, sebagai bagian dari sastra Indonesia modern yang penting pada 1960-an dan selanjutnya. Gayanya membaca sajak—termasuk gesture tubuh, potongan rambut, model kemejanya dan caranya memegang lembar sajak—ditiru oleh banyak penyair atau deklamator epigonnya kemudian.
Dalam buku ini pula kita melihat kritik yang tajam kepada rezim Orde Baru-Soeharto, justru ketika rezim ini sedang dalam tahap pembangunan berencana yang penuh semangat. Indonesia sebagai rumah bersama terancam oleh persekongkolan dan penyalahgunaan kekuasaan. Program pembangunan berencana itu kemudian menjelma “jalan pembangunan yang kotor dan penuh penipuan” (sajak “Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon”). Namun, di atas segala ancaman kehancuran itu, masih ada optimisme, yakni masih adanya persaudaraan universal dan hari baik. “Aku tulis pamplet ini / karena kawan dan lawan adalah saudara. / Di dalam alam masih ada cahaya. / Matahari yang tenggelam diganti rembulan. / Lalu besok pagi pasti terbit kembali.” (sajak “Aku Tulis Pamplet Ini”).
Kutipan
Aku Tulis Pamplet Ini
Aku tulis pamplet ini
karena lembaga pendapat umum
ditutupi jaring labah-labah.
Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk,
dan ungkapan diri ditekan
menjadi peng-iya-an.
Apa yang terpegang hari ini
bisa jadi luput besok pagi.
Ketidakpastian merajalela.
Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki,
menjadi marabahaya,
menjadi isi kebon binatang.
Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi,
maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam.
Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan.
Tidak mengandung perdebatan.
Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan.
Aku tulis pamplet ini
karena pamplet bukan tabu bagi penyair.
Aku inginkan merpati pos.
Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku.
Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian.
Aku tidak melihat alasan
kenapa harus diam tertekan dan termangu.
Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar.
Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju.
Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran?
Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan.
Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka.
Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api.
Rembulan memberi mimpi pada dendam.
Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah
yang teronggok bagai sampah.
Kegamanangan. Kecuriagaan.
Ketatutan.
Kelesuan.
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara.
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai berkaca:
ternyata kita, toh, manusia!
Pejambon, Jakarta, 27 April 1978
Rendra, Potret Pembangunan dalam Puisi (Jakarta: Pustaka Jaya, cet. ke-2, 1996), 102 hlm.